Masa kuliah merupakan salah satu momentum yang berharga dalam hidup seseorang. Pengalaman di bangku kuliah tak jarang dikenang hingga wafat. Namun, pengalaman di kampus tidak selalu baik, ada juga yang kurang baik dan menimbulkan rasa traumatik berkepanjangan. Kisah serupa terangkum dalam sebuah novel berjudul Sekosong Jiwa Kadaver karya Ita Fajria Tamim (Ning Ita). Ning Ita merupakan seorang santri asal Jombang yang kini bersama suaminya mengelola Pondok Pesantren Nazhatut Thullab Sampang, Jawa Timur. "Novel ini mengambil latar belakang seorang santri putri bernama Raya yang kuliah di Bali pasca Bom Bali. Ia mengalami banyak pergulatan batin dan tekanan mental," jelas Ning Ita ke NU Online, Rabu (26/7/2023).
Ning Ita menjelaskan, Raya digambarkan sebagai seorang pemudi yang sejak kecil hidup di pesantren karena keluarga besarnya memiliki pesantren. Raya mempunyai cita-cita menjadi dokter. Saat proses penerimaan mahasiswi baru, Raya diterima di salah satu kampus negeri yang ada di Bali. Awal kedatangannya ke Bali, Raya mengira kehidupan kuliahnya akan berjalan lancar. Karena di sekolah sebelumnya, ia tergolong siswi yang pintar. Namun, pikiran itu hanya menjadi bayangan saja. Ia harus berdarah-darah menyelesaikan beban kuliah dan pergolakan batinnya. "Beberapa teman kuliahnya terjebak dalam gaya hidup dengan segala kebebasan. Raya merasa bersalah tidak bisa menjaga temannya. Belum lagi ucapan rasis yang diterimanya, hanya karena ia muslimah," beber Ning Ita. Sebagai tokoh yang lahir dari pesantren, Ning Ita Fajria aktif mengembangkan dakwahnya baik secara offline ataupun online. Ia sering diundang sebagai pemateri dalam acara seminar di berbagai tempat seperti kampus dan beberapa pesantren untuk membahas isu kekinian dalam kacamata medis. Ning Ita, yang juga seorang dokter ini intens menulis sejak usia sekolah. Kegemarannya menulis berawal dari kebiasaannya menulis diary. Hingga saat ini, sudah ada dua buku yang berhasil diselesaikan. Pada 2021, buku dengan tebal 180 halaman berhasil diselesaikan dalam waktu dua bulan.
Kemudian, pada 2022, dia kembali menyelesaikan satu buku yang berisi tentang status-status di akun instagramnya. Bahkan, bukunya yang berjudul Daily Insight telah terjual hingga menembus angka 3000 eksemplar karena sangat diminati oleh para pembaca. Buku tersebut merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang mungkin masih sering mengusik dan menjadi keresahan beberapa anak muda dan bahkan orang dewasa. "Novel Sekosong Jiwa Kadaver adalah buku ketiga saya. Saya menulisnya di bulan Mei-Oktober 2022. Novel ini layak dibaca oleh santri yang kuliah di luar pesantren, orang tua yang memiliki anak perempuan, pemerhati sosial dan siapa pun," ungkap Ning Ita. Ning Ita beralasan, di dalam novel ini lebih banyak menceritakan kehidupan seorang santri putri bernama Raya yang terbiasa dengan kehidupan pesantren, kini harus adaptasi dengan kultur baru yang cukup bebas, karena Bali merupakan daerah pariwisata terkenal di mancanegara. Turis hilir mudik di bandara, pasar, pantai, dan tempat lainnya. Mayoritas turis datang ke Bali dengan pola pikir hidup bebas, individualisme, dan pesta. Gaya hidup tersebut secara tak langsung berlawanan dengan tradisi di pesantren. Menyebabkan konflik batin berkepanjangan di hati Raya. "Sebagai seorang santri putri yang belajar ke Bali, di mana saat itu masih dalam suasana pasca Bom Bali 1 dan 2. Banyak orang yang sentimen dengan Muslim, tak terkecuali muslimah yang berjilbab. Banyak perlakuan yang tidak menyenangkan diterima oleh Raya," katanya.
Bom Bali merubah banyak hal dalam kehidupan Raya, pandangan masyarakat kepadanya mulai berbeda karena ia muslimah yang berjilbab. Bahkan ia juga mengalami perundungan oleh teman kuliahnya. Perundungan tersebut menancapkan luka traumatik yang dalam di hati Raya. Bertahun-tahun Raya hidup dalam keadaan mental tertekan, dan pikiran kacau. Dalam menghadapi kerasnya serangan tersebut, Raya akhirnya memilih untuk aktif belajar tentang mental health, mulai bicara ke publik tentang pentingnya memperhatikan mental health. Agar seseorang tidak tersakiti sepertinya atau menyakiti orang lain. Luka saat kuliah tersebut membuat beban Raya bertambah, apalagi kuliah kedokteran cukup sulit. Harus disiplin, on time dan rata-rata orang pintar. Sehingga Raya harus menghadapi banyak masalah. Raya berusaha bangkit dengan merangkai pengalaman traumatiknya dalam tulisan. Harapannya, apa yang terjadi kepadanya tidak dialami oleh orang lain. Cukup lingkaran setan di dunia perkuliahan seorang santri tidak menular. "Sehingga dalam novel ini membahas tentang mental health, tentang seorang perempuan yang sedang berproses dan tumbuh dalam hidup serta memegang prinsip. Ada juga pergulatan perempuan mengalami trauma," ujarnya. Ning Ita secara khusus ingin menitipkan pesan lewat novel ini yaitu perlu seseorang mewaspadai gejala mental illness. Karena penyakit mental tidak kasat mata seperti penyakit fisik. Pesan selanjutnya, seseorang harus mempertahankan prinsip. Jika punya prinsip yang sesuai dengan nilai-nilai agama, pertahankan prinsip itu tak peduli apapun kondisi lingkungan. Prinsip yang kuat adalah modal yang membawa seorang individu pada keselamatan hidup dunia akhirat. "Jika mengalami gejala depresi seperti sedih terus menerus, kosong, merasa tidak berharga, dan lainnya dalam jangka panjang, jangan pernah ragu untuk meminta bantuan profesional," tutup Ning Ita.